Sabtu, 09 Januari 2016

“ Nyai Pandansari“





Pada zaman dahulu ada seorang Bupati pandanaran II dari  kadipaten Semarang yang berguru dengan Sunan Kalijaga, Bupati tersebut bernama Ki Ageng Pandanaran. Beliau adalah seorang yang sangat kaya di kadipaten tersebut. Setelah berguru kepada Sunan Kalijaga, akhirnya beliau memutuskan untuk meninggalkan hal-hal urusan duniawi seperti jabatan dan harta benda. Kemudian Ki Ageng Pandanaran pun menghadap Sang Guru untuk meminta arahan tentang keputusannya.
“Kau sudah mantap muridku”
“Iya, Guru”
“Apakah kamu yakin untuk melakukan hal itu?”
“Iya Guru, saya sudah yakin dan mantap”
“Tidakkah kamu menyesalinya?”
“Jiwa saya sudah lepas dari kebendaan, Guru. Saya ingin menyebarkan agama islam dan mendekatkan diri kepadaNya. Apakah keputusan saya salah, Guru?”
Sunan Kalijaga pun tersenyum sambil mengusap rambut yang tumbuh di dagunya.
“Apakah kau akan meninggalkan kesenangan dunia ini? jabatan dan harta bendamu?”
“ Iya Guru. Saya telah siap untuk meninggalkan semuanya. Apakah Guru belum yakin kepada ku?”
Sunan Kalijaga pun tersenyum sambil mengusap rambut yang tumbuh di dagunya. Kemudian mengusap kepala murid yang dikasihinya. Didalam hatinya ia percaya akan tekad yang ikhlas dan tulus muridnya yang ingin meninggalkan semuanya.
“ Baiklah. Jika tekadmu telah teguh, berangkatlah. Tapi sebelum itu, aku ingin tahu, apa yang akan kau bawa sebagai bekal perjalananmu?”
“ Maaf Guru, saya merasa bahwa Allah sudah memberikan kekayaan batin yang lebih pada saya. Itulah harta yang tak pernah habis. Kemudia saya akan mengajak istri saya sebagai penentram hati dan penegak di setiap langkah perjalanan saya. Saya juga akan membawa sesuatu sebagai penerang hati saya, Guru pun sudah tahu itu yaitu Al-Qur’an dan Al Hadits.”
“Bagus” , Kata sunan Kalijaga
Tersenyumlah Sunan Kalijaga mendengar ungkapan dari muridnya itu.
“Tapi Guru, saya bingung, ke arah manakah saya harus pergi menyebarkan agama islam?”, Kata Ki Ageng Pandanaran.
Sunan Kalijaga pun termenung sambil mengusap rambut yang tumbuh di dagunya.
“ Aku rasa, kau harus pergi ke selatan tepatnya di desa Tembayat. Disana agama islam belum berkembang.”
“ Baiklah Guru, saya akan pergi kesana. Terima kasih Guru atas arahan yang engkau berikan. Saya pamit pulang dulu, Guru.”
“ Baik, Muridku.”
Ki Ageng Pandanaran pun pergi. Sunan Kalijaga pun terus menatap punggung muridnya itu. Hatinya tersentuh. Ia pun teringat akan masa kecilnya dulu. Memang sulit meninggalkan kedudukan dan jabatan.
            Ki Ageng Pandanaran kembali ke  rumahnya yaitu di Kadipaten Pandanaran. Ki Ageng Pandanaran terus memacu kudanya melewati beberapa dusun. Untuk kemudian setelah beberapa hari perjalanan, sampailah ia di rumahnya yang megah. Ki Ageng Pandanaran merasa sedih jika mengingat tembok yang menghalangi antara keturunan darah biru dan rakyat disekitarnya. Ya ia harus meninggalkan semuanya itu. Banyak rakyat yang menanti uluran tangannya. Sesampainya di taman rumahnya, ia di sambut oleh istri dan adik yang dikasihinya yaitu Ni Pandansari.
            “ Bagaimana Kang Mas?” Tanya Ni Pandansari
“ Marilah kita masuk ke dalam. Nanti akan aku ceritakan semua kepada kalian. Sebab besuk pagi-pagi benar aku harus meninggalkan kadipaten ini.”
“Haa?”
“ Tenanglah adikku, semua itu perintah dari kanjeng sunan kalijaga. Juga untuk mendarma baktikan diriku kepada Sang Pencipta. Tenanglah! Ada kalanya kita ini harus berpisah..”
“ Berpisah Kang Mas?”
“ Marilah, akan aku ceritakan semuanya. Oh, ya istriku, tolong buatkan aku air kopi hangat. Rasanya malam ini aku ingin minum kopi bersama dengan kalian berdua.” Pinta Ki Ageng Pandanaran kepada istrinya.
“ Baiklah, Kang Mas.” Jawab istri Ki Ageng Pandanaran.
Kemudian mereka berkumpul dan duduk bersama. Ki Ageng Pandanaran pun menceritakan semua kepada mereka berdua. Hingga akhirnya kedua perempuan itu tertegun.
            “ Bagaimana istriku?” tanya Ki Ageng Pandanaran.
“ Semua terserah kepada Kang Mas saja, saya akan ikut serta….” Jawab Istri Ki Ageng Pandanaran.
Ni Pandansari menunduk sedih, karena itu berarti ia akan berpisah dengan kakaknya yang amat ia cintai.
            “ Jadi Kang Mas akan hanya pergi dengan Mbak Yu saja?” Tanya Ni Pandansari.
            “ Iya, Adikku.”
            “Apakah aku tidak boleh ikut?”
“ Jangan Adikku, kuharap kau mengerti yang aku maksud. Sebab jika kau ikut, siapa lagi yang akan mengurusi Bapak ? Ketahuilah, aku dan istriku akan pergi secara diam-diam. Tidak ada yang boleh tahu, ingat itu adikku. Aku tidak ingin semua orang melarangku. Kelak, jika kau sudah benar-benar dewasa, ku boleh menyusulku. Boleh mencariku.”
“ Lantas, siapa yang akan memimpin kadipaten ini, Kang Mas?”
“ Jangan Khawatir, Adikku. Disini masih banyak orang bijak. Tidak akan terjadi pertumpahan darah. Mereka kan bersama-sama memimpin kadipaten semarang ini dengan baik. Ingatlah adikku setiap ada pertemuan pasti ada perpisahan. Itu merupakan kejadian yang sudah biasa. Kita tidak selamnya kan menyatu. Suatu saat bukankh kita akan mati juga? Akan meninggalkan semua yang yang pernah kita miliki dan yang kita cintai. Sudahlah adikku, janganlah engkau menangis, aku tahu perasaanmu.”
“ Baiklah Kang Mas, selamat jalan. Jangan pernah lupakan aku.”
Ki Ageng Pandanaran pun tersenyum kepada adiknya. Ni Pandansari pun kemudian pergi meninggalkan kakaknya. Memanglah menyedihkan yang namanya perpisahan itu.
Selang beberapa bulan, Ni Pandansari teringat oleh sang kakak dan mencari-cari sang kakak dan istrinya pergi kemana. Akhirnya Ni pandansari memutuskan untuk pergi mencari mereka. Kemudian berangkatlah Ni Pandansari dan dua orang pengawal yaitu Ki Wonobodro dan Ki Wonosari untuk mencari kakaknya, akan tetapi arahnya mencari berlawanan dengan arah kakaknya dulu pergi yaitu arah barat daya dari kadipaten Pandanaran. Mereka menerobos hutan belantara. Naik turun bukit terjal..
“ Ni Pandansari…” Kata Ki Wonosari sambil menatap Ni Pandansari.
“ Iya, Kakang?” Jawab Ni Pandansari.
“ Sepertinya kita sulit menemukan Kakang Mas Ageng Pandanaran. Apakah sebaiknya kita hentikan perjalanan ini?”
“ Tidak kakang, aku akan terus mencarinya.”
Ni Pandansari bersama pengaawalnya terus berjalan ke arah barat daya dan sampailah ia di sebuah pondok pesantren yang berada di desa blimbing. Kemudian mereka berhenti dan memutuskan untuk belajar agama di pondok pesantren itu. Mereka pun menemui pimpinan disana yaitu Kyai Jiwaraga untuk meminta ijin menjadi muridnya di pondok pesantren itu.
“ Siapakah Nak Mas bertiga ini ? Tampaknya seperti baru menempuh perjalanan yang jauh. Apakah saya boleh tahu?” Tanya Kyai Jiwaraga.
“ Maaf Bapa, Kami memang baru saja menjalani perjalanan yang begitu panjang dan melelahkan. Kedatangan kami kemari ini karena terdorong oleh keinginan kami untuk menjadi Murid di Pondok Pesantren ini.”
“ Lalu siapakah kedua pemuda ini, Nak?”
“ Mereka adalah kakang Wonobodro dan Wonosari, teman perjalanan saya Kyai.”
Mereka pun diijinkan oleh Kyai Jiwaraga untuk menjadi murid di pondok pesantrennya.
“ Tentunya kalian lelah. Beristirahatlah! Kau tempati gandok samping rumah induk dekat kaputren itu. Dan biarlah Wonobodro dan Wonosari menempati gandok belakang. Berkumpul bersama yang lain.”
Kemudian Kyai Jiwaraga pun memanggil Santiko untuk mengantarkan mereka bertiga ke gandoknya.
“Mari Nini dan sobart berdua. Kalian aku antar ke tempat masing-masing. Mudah-mudahan kalian akan betah tinggal di tempat yang buruk ini.” Kata Santiko dengan nada lembut..
“ Terima kasih Kakang.” Kata Ni Pandansari sambil tersenyum.
“ Namaku Santiko, Ni Mas. Bukankah Bapa Guru tadi memanggilku demikian?.”
“ Iya, maaf Kakang Santiko. Maafkanlah aku yang cepat lupa ini.”
Santiko pun tersenyum
Di Pondok Pesantren itu, seringkali Ni Pandansari mmenyendiri. Tafakur dan merenugi alam semesta ini. Banyak para pemuda di pondok pesantren itu yang diam-diam menyukai Ni Pandansari salah satunya adalah santri santiko.
“Assalamu’alaikum” Sapa lelaki muda itu, setelah melihat Ni Pandansari selesai tafakur di atas batu yang besar dan tinggi.
“ Wa’alaikum salam” Jawab Ni Pandansari.
“Apakah saya mengganggu Nini?”
“ Ah, Tidak. Ada yang penting Kakang?”
“ Ada yang ingin akku sampaikan kepada Ni Mas. Kuharap Ni Mas tidak keberatan untuk menemaniku jalan-jalan ke timur.”
“ Nanti kalau dicari Bapa Kyai?”
“ Bapa tahu kalau aku ingin menemuimu.” Kata Santiko
“ Ooh Baiklah. Kemana Kakang akan mengajakku jalan?”
“ Mari kita pergi ke sebuah pategalan yang berada di sebelah timur desa blimbing ini. Orang menyebut tempat itu Tegal Sekaran, karena memang banyak sekar dan kembang yang lain yang tumbuh dan berkembang dengan indahnya.”
“ Iya Kakang. Tapi tunggu dulu, apakah Kakang tidak meraasakan ada yang mengawasi kita di sekitar tempat ini. Tidakkah kita sebaiknya mengajak mereka juga?”
“ Baiklah, mari adik semua. Keluarlah! Ni Mas mengajak kalian untuk ikut serta.”
Kemudian bermunculanlah para santri muda yaitu Sindangsana, Radite, Watuwuli, Ronggo, Rupaksa, Panji, dan Panjaka. Dan juga ada Ki Wonobodro dan Wonosari, namun tujuan mereka ini berbeda dengan santri yang lain, mereka hanya ingin melindungi Ni Pandansari. Mereka pun akhirnya berangkat kesana dengan lari, sambil mengetes kemampuan jurus lari mereka yang diajarkan di pondok itu.
            Ni Pandansari pun akhirnya sering bermain ke tegal sekaran itu, di sela-sela setelah belajar atau mengaji. Pada suatu ketika, Ni Pandansari pun berfikir mengapa tempat seindah ini namun tidak ada mata air yang mengalir. Akhirnya dia pun memutuskan untuk membuat sayembara, siapa yang dapat membantunya mencarikan mata air di tegal sekaran itu, maka sebagai hadiahnya jika ia seorang perempuan maka akan ia jadikan saudara dan jika ia seorang laki-laki maka akan ia jadikan suami. Akhirnya banyak sekali yang mengikuti sayembara itu termasuk santri-santri putra di pondok itu, dan rata-rata yang mengikuti sayembara itu adalah seorang laki-laki. Mereka pun secara serentak mencari mata air di tegal sekaran itu, namun usaha yang mereka lakukan pun tidak membuahkan hasil. Diantara peserta sayembara itu, tidak ada yang dapat menemukan sumber mata air itu dan akhirnya mereka pun menyerah.
            Ni Pandansari pun akhirnya mengajak mereka semua untuk melakukan sholat berjamaah di tempat itu, supaya diberikan petunjuk oleh Sang Maha Kuasa mengenai lokasi sumber mata air itu. Setelah melakukan sholat berjamaah, Ni Pandansari pun merenung sejenak dan merasakan penyatuan dengan alam. Kemudian ia beranjak dari tempatnya dan berjalan ke suatu pohon beringin besar nan tua itu dan ia pun mengamati tanah tempat pohon itu berdiri. Ia pun mendengar dan merasakan desiran air mengalir deras, kemudian Ni Pandansari pun meminta bantua saudara-saudaranya itu untuk membuat kubangan di bawah pohon itu.
            “Kau yakin Ni Mas?” Tanya Ki Wonosari.
“ Iya, aku yakin. Bahkan kita akan menemukan sumber air yang cukup besar.” Jawab Ni Pandansari.
Mereka pun bersama-sama memulai memulai membuat kubangan itu. Setelah mereka bekerja selama dua hari dua malam tanpa berhenti,  akhirnya ditempat itu pun mengalir sumber mata air yang cukup deras. Karena semakin derasnya sumber mata air itu, akhirnya menjadi sebuah sendang. Kemudian sendang tersebut dinamai dengan Sendang Sebrayat.
            Suatu saat, Ni Pandansari ditemani tiga orang yaitu Ki Wonobodro, Ki Woosari dan Santiko untuk berkeliling kampung. Kegiatan rutin itu dimaksudkan agar dapat membantu warga sekitar yang kadang-kadang memang membutuhkan bantuan. Suatu ketika di sore hari, mereka sampai di suatu dusun yang bernama Mangir. Tiba-tiba Nampak seorang laki-laki yang lari di depan mereka.
            “ Tolonglah saya..!” Pinta laki-laki tersebut.
            “ Apa yang dapat kami bantu paman? Tanya Ni Pandansari.
“ Perkenalkan saya Jaya Sentika. Ada seorang yang sakti yang merebut istri saya dan merusak rumah saya. Mereka juga sudah membuat onar kampung dan membunuh siapa saja yang mendekat. Tolonglah kami anak muda!”
“ Mereka siapa paman?”
“ Mereka adalah dua orang bersaudara yang kabarnya mereka adalah berandalan-berandalan alas mentaok yang lari, karena di sana telah diduduki oleh Raden Danang Sutawijaya.”
Ni Pandansari mengangguk. Ia kemudian  mengajak saudara-saudaranya itu untuk menyelesaikan persoalan itu yang tampaknya tidak ringan.
            “ Antarkan kami ke sana, Paman!” Pinta Ni Pandansari.
“ Baiklah, mari Ni Mas. Namun hati-hati Ni Mas, kabarnya berandalan mentaok itu terkenal kejam dan bengis.”
Ki Jaya Sentika tadi kemudian naik menumpang kuda yang ditunggangi Sentika. Mereka pun kemudian memacu kudanya menuju rumah paman itu. Dan sesampainya di depan rumah paman itu.
            “ Dimana mereka Paman?” Tanya Ni Pandansari.
            “ Di dalam rumah itu. Rumah kami Ni Mas, tolonglah istri saya!” Jawab Ki Jaya Sentika.
            “ Baiklah, Paman tunggu disini!”
            “ Bismillah” Kata Ni Pandansari yang kemudian tiba-tiba meloncat dari punggung kudanya.
Dan dengan gerakan yang cepat ia melayang ke pintu rumah itu. Tiba-tiba pintunya pun roboh dan Ni Pandansari berdiri tegar di situ.
            Pada suatu ketika di keraton Cirebon terdapat seorang pemuda yang gagah dan pandai, dia bernama Ki Dhapuraja. Kemudian suatu hari beliau memutuskan untuk berguru ke suatu tempat untuk memperdalam ilmu agamanya. Beliau memikirkan terus ke arah mana ia harus pergi, kemudian ia mendapatkan wasiat dari mimpinya untuk pergi ke arah timur dari keraton Cirebon. Ki Dhapuraja keesokkan harinya pun memutuskan untuk pergi ke sana dengan ditemani oleh beberapa prajuritnya. Beliau pun kemudian berpamitan kepada orang tuanya, dan akhirnya berangkatlah mereka ke arah timur dari keraton Cirebon.
            Dalam perjalanan Ki Dhapuraja dan prajuritnya untuk menemukan suatu tempat untuk berguru ilmu agama, menemukan kesulitan karena tidak kunjung sampai pada tempatnya. Kemudian mereka terus berjalan ke arah timur dan sampailah mereka pada suatu pondok pesantren yang berada di suatu desa yang bernama desa blimbing. Mereka pun akhirnya memutuskan untuk menjadi santri di sana dan memperdalam ilmu agamanya. Pada suatu ketika Ki Dhapuraja berjalan-jalan di suatu tegalan yang terdapat banyak tanaman bunga ( tegal sekaran ) dan dia pun mendapati seorang gadis yang sedang bermain di tempat itu. Kemudian Ki Dhapuraja pun mendatangi gadis itu dan mengajaknya untuk berkenalan, ternyata gadis itu adalah Ni Pandansari. Mereka pun akhirnya sering bermain dan belajar bersama.
            Ki Dhapuraja dan Ni Pandansari pun bermain dan belajar bersama terus-menerus. Kemudian ada pepatah yang mengatakan “witing tresno jalaran saka kulina ( awal cinta karena dari terbiasa ) “. Karena mereka saling terbiasa bersama, akhirnya diantara mereka muncul benih-benih cinta. Ki Dhapuraja pun akhirnya menghadap kepada pemimpin pondok pesantren, untuk mengutarakan maksudnya untuk menikahi Ni Pandansari. Kemudian dipanggillah Ni Pandansari oleh pemimpin pondok pesantren, dan dihadapkan bersama mereka berdua. Pemimpin pondok pun mengutarakan apa yang diminta oleh Ki Dhapuraja kepada Ni Pandansari, dan ditanyailah dia apakah bersedia untuk dinikahi oleh Ki Dhapuraja. Akhirnya Ni Pandansari pun menyetujuinya dan menikahlah mereka berdua. Mereka terlihat sangat bahagia bersama dan mereka pun berencana untuk mempunyai tempat tinggal sendiri. Kemudian mereka meminta izin kepada pemimpin pondok pesantren, untuk pergi dan mendirikan tempat tinggal sendiri.
            Ki Dhapuraja dan Nyai Pandansari pun kemudian mendirikan tempat tinggal di sebelah utara desa boja yang dekat dengan tegal sekaran, dimana tempat tinggal mereka berdekatan dengan kediaman Kyai Boja. Pada suatu hari, ketika Nyai Pandansari berjalan-jalan di tegal sekaran, beliau melihat masyarakat petani di desa boja sebelah utara kesulitan dalam mengairi tanah pertanian mereka. Sehingga tanah pertanian mereka pun kering, melihat hal itu Nyai Pandansari pun merasa kasihan. Beliau berinisiatif untuk membuat saluran irigasi untuk mengairi tanah pertanian mereka yang kering. Kemudian Nyai Pandansari pulang ke rumahnya dan menceritakan kejadian yang ia lihat tadi kepada suaminya yaitu Ki Dhapuraja.
            Mendengar cerita dari sang istri, Ki Dhapuraja pun juga merasa kasihan dengan masyarakat di situ. Nyai Pandansari pun mengutarakan inisiatifnya kepada suaminya, tentang membuat saluran irigasi dari sendang blimbing menuju lahan pertanian di sebelah utara desa boja. Kemudian dimintailah suaminya untuk membuatkan saluran irigasi tersebut, dan suaminya pun menyanggupinya. Ki Dhapuraja dengan dibantu beberapa prajuritnya mulai membuat saluran irigasi tersebut, namun belum sampai selesai mereka pun menyerah, tidak dapat menyelesaikan saluran irigasi tersebut. Ki Dhapuraja pun mengeluh kepada sang istri, bahwa susah untuk membuat saluran irigasi dari sendang blimbing, karena dari sendang blimbing untuk menuju desa boja sebelah utara itu harus melewati dataran tinggi akan tetapi air tidak bisa mengalir naik ke atas untuk melewati dataran tinggi tersebut.
            Akhirnya Nyai Pandansari pun memutuskan untuk meneruskan kerja dari suaminya untuk membuat saluran irigasi tersebut. Kemudian Nyai Pandansari pun mengambil setagen atau bengkung ( kendit ) yang ia kenakan dan di gelarnya di sendang blimbing, ditariknya setagen atau bengkung tersebut dan secara langsung air dari sendang blimbing pun ikut mengalir ( ilen ) mengikuti arah tarikan dari setagen atau bengkung tadi. Nyai Pandansari pun menarik terus setagen atau bengkung tadi sampai di lahan pertanian di desa boja sebelah utara. Masyarakat disana pun akhirnya bahagia, karena kini lahan pertaniannya tidak kering sehingga mereka dapat menggarap sawah. Berkat jasanya membuat saluran irigasi, masyarakat pun mengucap syukur dan sangat berterima kasih kepadanya. Beliau pun akhirnya di segani atau di hormati oleh masyarakat di desa boja.
            Ki Dhapuraja pun akhirnya malu ( lingsem ) mengetahui tentang istrinya yang akhirnya dapat berhasil membuat saluran irigasi tersebut. Beliau malu karena sebagai seorang suami atau kepala keluarga tidak dapat membuat saluran irigasi tersebut sampai selesai, akan tetapi dia kalah oleh istrinya yang dapat membuat saluran irigasi tersebut sampai selesai. Akhirnya Ki Dhapuraja pun memutuskan untuk meninggalkan istrinya, dan pergi ke arah barat daya dari desa boja. Beliau berjalan terus sampai berhenti di suatu tempat, dimana di tempat itu masyarakatnya masih banyak yang belum memahami tentang agama islam. Kemudian di tempat itu pun Ki Dhapuraja membangun sebuah pondok pesantren sebagai tempat tinggalnya dan tempat dia mengajarkan agama islam kepada masyarakat di desa itu.
            Dalam kesehariannya, Ki Dhapuraja terus mengajarkan tentang agama islam kepada masyarakat di desa itu. Menginjak umurnya yang sudah tua dan di usianya yang tua itu, beliau tidak juga mempunyai keturunan karena keburu dia meninggalkan sang istri. Padahal pada waktu Ki Dhapuraja meninggalkan istrinya, mereka belum lama menikah. Ki Dhapuraja pun akhirnya di panggil Sang Maha Kuasa untuk menghadapNya, dan beliau pun di makam kan di desa itu. Untuk mengenang atas semua jasanya mengajarkan agama islam kepada masyarakat di desa itu, maka desa tersebut pun dinamai dengan nama desa Ndapu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar