Pada zaman dahulu ada seorang Bupati
pandanaran II dari kadipaten Semarang
yang berguru dengan Sunan Kalijaga, Bupati tersebut bernama Ki Ageng
Pandanaran. Beliau adalah seorang yang sangat kaya di kadipaten tersebut.
Setelah berguru kepada Sunan Kalijaga, akhirnya beliau memutuskan untuk
meninggalkan hal-hal urusan duniawi seperti jabatan dan harta benda. Kemudian
Ki Ageng Pandanaran pun menghadap Sang Guru untuk meminta arahan tentang
keputusannya.
“Kau sudah mantap muridku”
“Iya, Guru”
“Apakah kamu yakin untuk melakukan hal
itu?”
“Iya Guru, saya sudah yakin dan mantap”
“Tidakkah kamu menyesalinya?”
“Jiwa
saya sudah lepas dari kebendaan, Guru. Saya ingin menyebarkan agama islam dan
mendekatkan diri kepadaNya. Apakah keputusan saya salah, Guru?”
Sunan
Kalijaga pun tersenyum sambil mengusap rambut yang tumbuh di dagunya.
“Apakah kau akan meninggalkan kesenangan
dunia ini? jabatan dan harta bendamu?”
“
Iya Guru. Saya telah siap untuk meninggalkan semuanya. Apakah Guru belum yakin
kepada ku?”
Sunan
Kalijaga pun tersenyum sambil mengusap rambut yang tumbuh di dagunya. Kemudian
mengusap kepala murid yang dikasihinya. Didalam hatinya ia percaya akan tekad
yang ikhlas dan tulus muridnya yang ingin meninggalkan semuanya.
“
Baiklah. Jika tekadmu telah teguh, berangkatlah. Tapi sebelum itu, aku ingin
tahu, apa yang akan kau bawa sebagai bekal perjalananmu?”
“
Maaf Guru, saya merasa bahwa Allah sudah memberikan kekayaan batin yang lebih
pada saya. Itulah harta yang tak pernah habis. Kemudia saya akan mengajak istri
saya sebagai penentram hati dan penegak di setiap langkah perjalanan saya. Saya
juga akan membawa sesuatu sebagai penerang hati saya, Guru pun sudah tahu itu yaitu
Al-Qur’an dan Al Hadits.”
“Bagus”
, Kata sunan Kalijaga
Tersenyumlah
Sunan Kalijaga mendengar ungkapan dari muridnya itu.
“Tapi
Guru, saya bingung, ke arah manakah saya harus pergi menyebarkan agama islam?”,
Kata Ki Ageng Pandanaran.
Sunan
Kalijaga pun termenung sambil mengusap rambut yang tumbuh di dagunya.
“
Aku rasa, kau harus pergi ke selatan tepatnya di desa Tembayat. Disana agama
islam belum berkembang.”
“
Baiklah Guru, saya akan pergi kesana. Terima kasih Guru atas arahan yang engkau
berikan. Saya pamit pulang dulu, Guru.”
“
Baik, Muridku.”
Ki
Ageng Pandanaran pun pergi. Sunan Kalijaga pun terus menatap punggung muridnya
itu. Hatinya tersentuh. Ia pun teringat akan masa kecilnya dulu. Memang sulit
meninggalkan kedudukan dan jabatan.
Ki Ageng Pandanaran kembali ke rumahnya yaitu di Kadipaten Pandanaran. Ki
Ageng Pandanaran terus memacu kudanya melewati beberapa dusun. Untuk kemudian
setelah beberapa hari perjalanan, sampailah ia di rumahnya yang megah. Ki Ageng
Pandanaran merasa sedih jika mengingat tembok yang menghalangi antara keturunan
darah biru dan rakyat disekitarnya. Ya ia harus meninggalkan semuanya itu.
Banyak rakyat yang menanti uluran tangannya. Sesampainya di taman rumahnya, ia
di sambut oleh istri dan adik yang dikasihinya yaitu Ni Pandansari.
“ Bagaimana Kang Mas?” Tanya Ni
Pandansari
“
Marilah kita masuk ke dalam. Nanti akan aku ceritakan semua kepada kalian.
Sebab besuk pagi-pagi benar aku harus meninggalkan kadipaten ini.”
“Haa?”
“
Tenanglah adikku, semua itu perintah dari kanjeng sunan kalijaga. Juga untuk
mendarma baktikan diriku kepada Sang Pencipta. Tenanglah! Ada kalanya kita ini
harus berpisah..”
“
Berpisah Kang Mas?”
“
Marilah, akan aku ceritakan semuanya. Oh, ya istriku, tolong buatkan aku air
kopi hangat. Rasanya malam ini aku ingin minum kopi bersama dengan kalian
berdua.” Pinta Ki Ageng Pandanaran kepada istrinya.
“
Baiklah, Kang Mas.” Jawab istri Ki Ageng Pandanaran.
Kemudian
mereka berkumpul dan duduk bersama. Ki Ageng Pandanaran pun menceritakan semua
kepada mereka berdua. Hingga akhirnya kedua perempuan itu tertegun.
“ Bagaimana istriku?” tanya Ki Ageng
Pandanaran.
“
Semua terserah kepada Kang Mas saja, saya akan ikut serta….” Jawab Istri Ki
Ageng Pandanaran.
Ni
Pandansari menunduk sedih, karena itu berarti ia akan berpisah dengan kakaknya
yang amat ia cintai.
“ Jadi Kang Mas akan hanya pergi dengan
Mbak Yu saja?” Tanya Ni Pandansari.
“ Iya, Adikku.”
“Apakah aku tidak boleh ikut?”
“
Jangan Adikku, kuharap kau mengerti yang aku maksud. Sebab jika kau ikut, siapa
lagi yang akan mengurusi Bapak ? Ketahuilah, aku dan istriku akan pergi secara
diam-diam. Tidak ada yang boleh tahu, ingat itu adikku. Aku tidak ingin semua
orang melarangku. Kelak, jika kau sudah benar-benar dewasa, ku boleh
menyusulku. Boleh mencariku.”
“
Lantas, siapa yang akan memimpin kadipaten ini, Kang Mas?”
“
Jangan Khawatir, Adikku. Disini masih banyak orang bijak. Tidak akan terjadi
pertumpahan darah. Mereka kan bersama-sama memimpin kadipaten semarang ini
dengan baik. Ingatlah adikku setiap ada pertemuan pasti ada perpisahan. Itu
merupakan kejadian yang sudah biasa. Kita tidak selamnya kan menyatu. Suatu
saat bukankh kita akan mati juga? Akan meninggalkan semua yang yang pernah kita
miliki dan yang kita cintai. Sudahlah adikku, janganlah engkau menangis, aku
tahu perasaanmu.”
“
Baiklah Kang Mas, selamat jalan. Jangan pernah lupakan aku.”
Ki
Ageng Pandanaran pun tersenyum kepada adiknya. Ni Pandansari pun kemudian pergi
meninggalkan kakaknya. Memanglah menyedihkan yang namanya perpisahan itu.
Selang beberapa bulan, Ni Pandansari
teringat oleh sang kakak dan mencari-cari sang kakak dan istrinya pergi kemana.
Akhirnya Ni pandansari memutuskan untuk pergi mencari mereka. Kemudian
berangkatlah Ni Pandansari dan dua orang pengawal yaitu Ki Wonobodro dan Ki
Wonosari untuk mencari kakaknya, akan tetapi arahnya mencari berlawanan dengan
arah kakaknya dulu pergi yaitu arah barat daya dari kadipaten Pandanaran. Mereka
menerobos hutan belantara. Naik turun bukit terjal..
“ Ni Pandansari…” Kata Ki Wonosari
sambil menatap Ni Pandansari.
“ Iya, Kakang?” Jawab Ni Pandansari.
“
Sepertinya kita sulit menemukan Kakang Mas Ageng Pandanaran. Apakah sebaiknya
kita hentikan perjalanan ini?”
“ Tidak kakang, aku akan terus
mencarinya.”
Ni Pandansari bersama pengaawalnya terus
berjalan ke arah barat daya dan sampailah ia di sebuah pondok pesantren yang
berada di desa blimbing. Kemudian mereka berhenti dan memutuskan untuk belajar
agama di pondok pesantren itu. Mereka pun menemui pimpinan disana yaitu Kyai
Jiwaraga untuk meminta ijin menjadi muridnya di pondok pesantren itu.
“
Siapakah Nak Mas bertiga ini ? Tampaknya seperti baru menempuh perjalanan yang
jauh. Apakah saya boleh tahu?” Tanya Kyai Jiwaraga.
“
Maaf Bapa, Kami memang baru saja menjalani perjalanan yang begitu panjang dan
melelahkan. Kedatangan kami kemari ini karena terdorong oleh keinginan kami untuk
menjadi Murid di Pondok Pesantren ini.”
“ Lalu siapakah kedua pemuda ini, Nak?”
“ Mereka adalah kakang Wonobodro dan
Wonosari, teman perjalanan saya Kyai.”
Mereka
pun diijinkan oleh Kyai Jiwaraga untuk menjadi murid di pondok pesantrennya.
“
Tentunya kalian lelah. Beristirahatlah! Kau tempati gandok samping rumah induk
dekat kaputren itu. Dan biarlah Wonobodro dan Wonosari menempati gandok
belakang. Berkumpul bersama yang lain.”
Kemudian
Kyai Jiwaraga pun memanggil Santiko untuk mengantarkan mereka bertiga ke
gandoknya.
“Mari
Nini dan sobart berdua. Kalian aku antar ke tempat masing-masing. Mudah-mudahan
kalian akan betah tinggal di tempat yang buruk ini.” Kata Santiko dengan nada
lembut..
“
Terima kasih Kakang.” Kata Ni Pandansari sambil tersenyum.
“
Namaku Santiko, Ni Mas. Bukankah Bapa Guru tadi memanggilku demikian?.”
“
Iya, maaf Kakang Santiko. Maafkanlah aku yang cepat lupa ini.”
Santiko
pun tersenyum
Di
Pondok Pesantren itu, seringkali Ni Pandansari mmenyendiri. Tafakur dan
merenugi alam semesta ini. Banyak para pemuda di pondok pesantren itu yang
diam-diam menyukai Ni Pandansari salah satunya adalah santri santiko.
“Assalamu’alaikum”
Sapa lelaki muda itu, setelah melihat Ni Pandansari selesai tafakur di atas
batu yang besar dan tinggi.
“
Wa’alaikum salam” Jawab Ni Pandansari.
“Apakah
saya mengganggu Nini?”
“
Ah, Tidak. Ada yang penting Kakang?”
“
Ada yang ingin akku sampaikan kepada Ni Mas. Kuharap Ni Mas tidak keberatan
untuk menemaniku jalan-jalan ke timur.”
“
Nanti kalau dicari Bapa Kyai?”
“
Bapa tahu kalau aku ingin menemuimu.” Kata Santiko
“
Ooh Baiklah. Kemana Kakang akan mengajakku jalan?”
“
Mari kita pergi ke sebuah pategalan yang berada di sebelah timur desa blimbing
ini. Orang menyebut tempat itu Tegal Sekaran, karena memang banyak sekar dan
kembang yang lain yang tumbuh dan berkembang dengan indahnya.”
“
Iya Kakang. Tapi tunggu dulu, apakah Kakang tidak meraasakan ada yang mengawasi
kita di sekitar tempat ini. Tidakkah kita sebaiknya mengajak mereka juga?”
“
Baiklah, mari adik semua. Keluarlah! Ni Mas mengajak kalian untuk ikut serta.”
Kemudian
bermunculanlah para santri muda yaitu Sindangsana, Radite, Watuwuli, Ronggo,
Rupaksa, Panji, dan Panjaka. Dan juga ada Ki Wonobodro dan Wonosari, namun
tujuan mereka ini berbeda dengan santri yang lain, mereka hanya ingin
melindungi Ni Pandansari. Mereka pun akhirnya berangkat kesana dengan lari,
sambil mengetes kemampuan jurus lari mereka yang diajarkan di pondok itu.
Ni Pandansari pun akhirnya sering
bermain ke tegal sekaran itu, di sela-sela setelah belajar atau mengaji. Pada
suatu ketika, Ni Pandansari pun berfikir mengapa tempat seindah ini namun tidak
ada mata air yang mengalir. Akhirnya dia pun memutuskan untuk membuat
sayembara, siapa yang dapat membantunya mencarikan mata air di tegal sekaran itu,
maka sebagai hadiahnya jika ia seorang perempuan maka akan ia jadikan saudara
dan jika ia seorang laki-laki maka akan ia jadikan suami. Akhirnya banyak
sekali yang mengikuti sayembara itu termasuk santri-santri putra di pondok itu,
dan rata-rata yang mengikuti sayembara itu adalah seorang laki-laki. Mereka pun
secara serentak mencari mata air di tegal sekaran itu, namun usaha yang mereka
lakukan pun tidak membuahkan hasil. Diantara peserta sayembara itu, tidak ada
yang dapat menemukan sumber mata air itu dan akhirnya mereka pun menyerah.
Ni Pandansari pun akhirnya mengajak
mereka semua untuk melakukan sholat berjamaah di tempat itu, supaya diberikan
petunjuk oleh Sang Maha Kuasa mengenai lokasi sumber mata air itu. Setelah
melakukan sholat berjamaah, Ni Pandansari pun merenung sejenak dan merasakan
penyatuan dengan alam. Kemudian ia beranjak dari tempatnya dan berjalan ke
suatu pohon beringin besar nan tua itu dan ia pun mengamati tanah tempat pohon
itu berdiri. Ia pun mendengar dan merasakan desiran air mengalir deras,
kemudian Ni Pandansari pun meminta bantua saudara-saudaranya itu untuk membuat
kubangan di bawah pohon itu.
“Kau yakin Ni Mas?” Tanya Ki
Wonosari.
“
Iya, aku yakin. Bahkan kita akan menemukan sumber air yang cukup besar.” Jawab
Ni Pandansari.
Mereka
pun bersama-sama memulai memulai membuat kubangan itu. Setelah mereka bekerja
selama dua hari dua malam tanpa berhenti,
akhirnya ditempat itu pun mengalir sumber mata air yang cukup deras.
Karena semakin derasnya sumber mata air itu, akhirnya menjadi sebuah sendang.
Kemudian sendang tersebut dinamai dengan Sendang Sebrayat.
Suatu saat, Ni Pandansari ditemani
tiga orang yaitu Ki Wonobodro, Ki Woosari dan Santiko untuk berkeliling
kampung. Kegiatan rutin itu dimaksudkan agar dapat membantu warga sekitar yang
kadang-kadang memang membutuhkan bantuan. Suatu ketika di sore hari, mereka sampai
di suatu dusun yang bernama Mangir. Tiba-tiba Nampak seorang laki-laki yang
lari di depan mereka.
“ Tolonglah saya..!” Pinta laki-laki
tersebut.
“ Apa yang dapat kami bantu paman?
Tanya Ni Pandansari.
“
Perkenalkan saya Jaya Sentika. Ada seorang yang sakti yang merebut istri saya
dan merusak rumah saya. Mereka juga sudah membuat onar kampung dan membunuh
siapa saja yang mendekat. Tolonglah kami anak muda!”
“
Mereka siapa paman?”
“
Mereka adalah dua orang bersaudara yang kabarnya mereka adalah
berandalan-berandalan alas mentaok yang lari, karena di sana telah diduduki
oleh Raden Danang Sutawijaya.”
Ni
Pandansari mengangguk. Ia kemudian
mengajak saudara-saudaranya itu untuk menyelesaikan persoalan itu yang
tampaknya tidak ringan.
“ Antarkan kami ke sana, Paman!”
Pinta Ni Pandansari.
“
Baiklah, mari Ni Mas. Namun hati-hati Ni Mas, kabarnya berandalan mentaok itu
terkenal kejam dan bengis.”
Ki
Jaya Sentika tadi kemudian naik menumpang kuda yang ditunggangi Sentika. Mereka
pun kemudian memacu kudanya menuju rumah paman itu. Dan sesampainya di depan
rumah paman itu.
“ Dimana mereka Paman?” Tanya Ni
Pandansari.
“ Di dalam rumah itu. Rumah kami Ni
Mas, tolonglah istri saya!” Jawab Ki Jaya Sentika.
“ Baiklah, Paman tunggu disini!”
“ Bismillah” Kata Ni Pandansari yang
kemudian tiba-tiba meloncat dari punggung kudanya.
Dan
dengan gerakan yang cepat ia melayang ke pintu rumah itu. Tiba-tiba pintunya
pun roboh dan Ni Pandansari berdiri tegar di situ.
Pada suatu ketika di keraton Cirebon
terdapat seorang pemuda yang gagah dan pandai, dia bernama Ki Dhapuraja.
Kemudian suatu hari beliau memutuskan untuk berguru ke suatu tempat untuk
memperdalam ilmu agamanya. Beliau memikirkan terus ke arah mana ia harus pergi,
kemudian ia mendapatkan wasiat dari mimpinya untuk pergi ke arah timur dari
keraton Cirebon. Ki Dhapuraja keesokkan harinya pun memutuskan untuk pergi ke
sana dengan ditemani oleh beberapa prajuritnya. Beliau pun kemudian berpamitan
kepada orang tuanya, dan akhirnya berangkatlah mereka ke arah timur dari
keraton Cirebon.
Dalam perjalanan Ki Dhapuraja dan
prajuritnya untuk menemukan suatu tempat untuk berguru ilmu agama, menemukan
kesulitan karena tidak kunjung sampai pada tempatnya. Kemudian mereka terus
berjalan ke arah timur dan sampailah mereka pada suatu pondok pesantren yang
berada di suatu desa yang bernama desa blimbing. Mereka pun akhirnya memutuskan
untuk menjadi santri di sana dan memperdalam ilmu agamanya. Pada suatu ketika
Ki Dhapuraja berjalan-jalan di suatu tegalan yang terdapat banyak tanaman bunga
( tegal sekaran ) dan dia pun mendapati seorang gadis yang sedang bermain di
tempat itu. Kemudian Ki Dhapuraja pun mendatangi gadis itu dan mengajaknya untuk
berkenalan, ternyata gadis itu adalah Ni Pandansari. Mereka pun akhirnya sering
bermain dan belajar bersama.
Ki Dhapuraja dan Ni Pandansari pun
bermain dan belajar bersama terus-menerus. Kemudian ada pepatah yang mengatakan
“witing tresno jalaran saka kulina ( awal cinta karena dari terbiasa ) “.
Karena mereka saling terbiasa bersama, akhirnya diantara mereka muncul
benih-benih cinta. Ki Dhapuraja pun akhirnya menghadap kepada pemimpin pondok
pesantren, untuk mengutarakan maksudnya untuk menikahi Ni Pandansari. Kemudian
dipanggillah Ni Pandansari oleh pemimpin pondok pesantren, dan dihadapkan
bersama mereka berdua. Pemimpin pondok pun mengutarakan apa yang diminta oleh
Ki Dhapuraja kepada Ni Pandansari, dan ditanyailah dia apakah bersedia untuk
dinikahi oleh Ki Dhapuraja. Akhirnya Ni Pandansari pun menyetujuinya dan
menikahlah mereka berdua. Mereka terlihat sangat bahagia bersama dan mereka pun
berencana untuk mempunyai tempat tinggal sendiri. Kemudian mereka meminta izin
kepada pemimpin pondok pesantren, untuk pergi dan mendirikan tempat tinggal
sendiri.
Ki Dhapuraja dan Nyai Pandansari pun
kemudian mendirikan tempat tinggal di sebelah utara desa boja yang dekat dengan
tegal sekaran, dimana tempat tinggal mereka berdekatan dengan kediaman Kyai
Boja. Pada suatu hari, ketika Nyai Pandansari berjalan-jalan di tegal sekaran,
beliau melihat masyarakat petani di desa boja sebelah utara kesulitan dalam
mengairi tanah pertanian mereka. Sehingga tanah pertanian mereka pun kering,
melihat hal itu Nyai Pandansari pun merasa kasihan. Beliau berinisiatif untuk
membuat saluran irigasi untuk mengairi tanah pertanian mereka yang kering.
Kemudian Nyai Pandansari pulang ke rumahnya dan menceritakan kejadian yang ia
lihat tadi kepada suaminya yaitu Ki Dhapuraja.
Mendengar cerita dari sang istri, Ki
Dhapuraja pun juga merasa kasihan dengan masyarakat di situ. Nyai Pandansari
pun mengutarakan inisiatifnya kepada suaminya, tentang membuat saluran irigasi
dari sendang blimbing menuju lahan pertanian di sebelah utara desa boja. Kemudian
dimintailah suaminya untuk membuatkan saluran irigasi tersebut, dan suaminya
pun menyanggupinya. Ki Dhapuraja dengan dibantu beberapa prajuritnya mulai
membuat saluran irigasi tersebut, namun belum sampai selesai mereka pun
menyerah, tidak dapat menyelesaikan saluran irigasi tersebut. Ki Dhapuraja pun
mengeluh kepada sang istri, bahwa susah untuk membuat saluran irigasi dari
sendang blimbing, karena dari sendang blimbing untuk menuju desa boja sebelah
utara itu harus melewati dataran tinggi akan tetapi air tidak bisa mengalir
naik ke atas untuk melewati dataran tinggi tersebut.
Akhirnya Nyai Pandansari pun
memutuskan untuk meneruskan kerja dari suaminya untuk membuat saluran irigasi
tersebut. Kemudian Nyai Pandansari pun mengambil setagen atau bengkung ( kendit
) yang ia kenakan dan di gelarnya di sendang blimbing, ditariknya setagen atau
bengkung tersebut dan secara langsung air dari sendang blimbing pun ikut
mengalir ( ilen ) mengikuti arah tarikan dari setagen atau bengkung tadi. Nyai
Pandansari pun menarik terus setagen atau bengkung tadi sampai di lahan
pertanian di desa boja sebelah utara. Masyarakat disana pun akhirnya bahagia,
karena kini lahan pertaniannya tidak kering sehingga mereka dapat menggarap
sawah. Berkat jasanya membuat saluran irigasi, masyarakat pun mengucap syukur
dan sangat berterima kasih kepadanya. Beliau pun akhirnya di segani atau di
hormati oleh masyarakat di desa boja.
Ki Dhapuraja pun akhirnya malu (
lingsem ) mengetahui tentang istrinya yang akhirnya dapat berhasil membuat saluran
irigasi tersebut. Beliau malu karena sebagai seorang suami atau kepala keluarga
tidak dapat membuat saluran irigasi tersebut sampai selesai, akan tetapi dia
kalah oleh istrinya yang dapat membuat saluran irigasi tersebut sampai selesai.
Akhirnya Ki Dhapuraja pun memutuskan untuk meninggalkan istrinya, dan pergi ke
arah barat daya dari desa boja. Beliau berjalan terus sampai berhenti di suatu
tempat, dimana di tempat itu masyarakatnya masih banyak yang belum memahami
tentang agama islam. Kemudian di tempat itu pun Ki Dhapuraja membangun sebuah
pondok pesantren sebagai tempat tinggalnya dan tempat dia mengajarkan agama
islam kepada masyarakat di desa itu.
Dalam kesehariannya, Ki Dhapuraja
terus mengajarkan tentang agama islam kepada masyarakat di desa itu. Menginjak
umurnya yang sudah tua dan di usianya yang tua itu, beliau tidak juga mempunyai
keturunan karena keburu dia meninggalkan sang istri. Padahal pada waktu Ki
Dhapuraja meninggalkan istrinya, mereka belum lama menikah. Ki Dhapuraja pun
akhirnya di panggil Sang Maha Kuasa untuk menghadapNya, dan beliau pun di makam
kan di desa itu. Untuk mengenang atas semua jasanya mengajarkan agama islam
kepada masyarakat di desa itu, maka desa tersebut pun dinamai dengan nama desa
Ndapu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar